CIRI USTADZ IDEAL (1)

Landasan Pemikiran
Sebuah langkah maju dari orang yang ditumbuhi kesadaran dari Allah Ta`âla untuk meningkatkan kualitas keagamaan adalah mempelajari agama secara kontinyu dari salah seorang yang dianggap mumpuni.
Di Indonesia, ada beberapa istilah yang cukup familier untuk menyebut orang yang mumpuni dalam bidang agama.
Ada gelar Kyai yang disematkan oleh masyarakat untuk orang yang mumpuni dalam pemahaman agama ditambah kemampuan untuk mengayomi masyarakat. Ada gelar ulama, yang lebih menekankan pada kepakarannya.
Ada juga gelar ustadz yang nampaknya menjadi populer untuk digunakan pada era kekinian.
Ngomong-ngomong, sebenarnya apa makna ustadz? Siapa yang layak disebut ustadz? Apakah setiap orang yang berceramah disebut ustadz? Kemudian, apakah semua yang dipanggil ustadz benar-benar layak kita jadikan rujukan dalam masalah agama?
Mungkin kita mengira bahwa kata ustadz berasal dari bahasa Arab.
Padahal, kata tersebut merupakan serapan dari bahasa aslinya, bahasa Persia. Artinya: orang yang cakap dalam bidangnya.
Seperti kata ulama bernama al-Jawaliqi dalam kitabnya yang khusus menghimpun kata serapan ke dalam bahasa Arab berjudul al-Mu`arrab (halaman 25).
Kemudian, kata tersebut menjadi jamak digunakan dalam bahasa Arab dengan tetap mempertahankan makna aslinya (kecakapan).
Di zaman sekarang, kata ustadz digunakan untuk gelar tertinggi di universitas, dalam bahasa Indonesianya, Profesor.
Di Universitas al-Azhar Mesir misalnya, tidak semua yang bergelar doktor dan mengajar di kampus itu disematkan gelar ‘al-Ustadz’ (profesor) di depan namanya.
Hanya untuk yang memiliki pengalaman mengajar, menulis karya tertentu dan gelar tersebut disematkan oleh Majelis Tinggi Universitas.
Mungkin profesor dari al-Azhar akan terheran-heran umpama diajak untuk main ke Taman Pendidikan al-Quran, sekolah-sekolah agama, kajian-kajian tematik bahkan nonton ceramah di youtube. Karena banyak sekali ‘al-Ustadz’ di Indonesia dan sebagian besar masih muda-muda. Penampilannya pun bermacam-macam.
Tentu ini hanyalah soal beda penggunaan istilah semata. Tidak perlu dibesar-besarkan.
Hal yang lebih penting adalah: mau kyai, mau ulama, mau syekh, mau ustadz, mau profesor atau mau istilah apapun, kalau kita bicara soal orang yang layak dijadikan rujukan dalam ilmu agama maka kesemuanya menuntut satu hal yaitu : kapasitas diri.
Para ulama salaf dahulu sangat menghormati spesialisasi. Imam Malik (ulama besar Madinah, gurunya Imam Syafi`i) pernah berkata, “Di Masjid Nabawi ada orang-orang saleh yang kalau dipasrahi mengelola harta baitul mal pasti amanah dan kalau berdoa pasti dikabulkan. Tapi kalau soal hadis mereka tidak bisa dijadikan rujukan karena memang bukan ahlinya”.
Di zaman sekarang pun, masih berlaku semangat menghormati spesialisasi.
Saya jadi teringat ketika Grand Syekh al-Azhar (yang memimpin lembaga al-Azhar) Prof. Dr. Ahmad al-Thayyib ketika berceramah di Universitas Muhammadiyah Surakarta beberapa waktu lalu.
Kebetulan dalam ceramahnya sempat menyinggung maklumat terkait ilmu bahasa Arab.
Sebelum menyampaikannya, Beliau minta izin dulu kepada Rektor Universitas al-Azhar Prof. Dr. Muhammad al-Mahrashawi -yang waktu itu mendampingi- yang memang guru besar bidang ilmu bahasa Arab untuk menyampaikannya. Sementara Syekh Ahmad al-Thayyeb adalah guru besar bidang akidah.
Meskipun maklumat tersebut sama-sama diketahui oleh Beliau berdua, tapi begitulah para ulama, penuh tawadhu’ dan sangat menjaga spesialisasi.
Semangat spesialisasi inilah yang selalu ada sejak zaman Rasulullah, sahabat, tabi`in sampai ke zaman sekarang ini. Idealnya, sebagai umat kita pun mencontoh para ulama kita dalam menghormati spesialisasi.
Musa al Azhar : Kontributor Jaringan Sekolah BIAS untuk Mesir dan Timur Tengah.

POINT ILMU MANTIQ Ilmu mantik adalah qanun berfikir, oleh karenanya, di setiap
Telepone 0274 – 410 350
Email Sibibias@gmail.com
Informasi Tentang
Lembaga
Penerimaan Siswa Baru