MUSLIM DI JERMAN DAN DISKRIMINASI

Credit Picture: Republika.com

Beberapa waktu lalu Ayah saya pernah mengirim beberapa kisah tentang orang orang Indonesia di Luar Negeri, khususnya di Eropa. Kadang yang dihadapi adalah perlakuan diskriminatif oleh karena mereka Islam.

Nah, bagaimana dengan di Jerman ? Khususnya di Berlin ? Apakah saya sendiri pernah mengalami bentuk-bentuk tertentu dari diskriminasi ?

Untuk mengetahui lebih lanjut, kita perlu mengerti lebih jauh soal isu diskriminasi di Jerman. Tidak seperti negara-negara lain semisal Inggris dan Prancis.

Jerman adalah negara yang tidak punya koloni setelah Perang Dunia ke Dua. Gelombang orang luar Jerman yang datang dari Turki dan Vietnam misalnya, mereka sebetulnya malah diundang untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja pasca Perang Dunia ke Dua. Jadi mereka bukan ‘orang jajahan’ yang datang ke negara penjajahanya.

Tapi karena yang datang sekaligus atau berbondong bondong, mereka wajar lebih suka hidup dengan komunitasnya sendiri. Meski setelah beberapa generasi pun mereka tidak sepenuhnya bisa berasimilasi. Sehingga perbedaan masyarakatnya tetap terlihat.

Walaupun begitu, phobia atau rasa keterasingan terhadap muslim menjadi tidak se-ekstrim seperti kasus di Prancis, karena mereka sudah hidup berdampingan selama beberapa generasi. Dengan orang-orang Turki, orang Jerman pada akhirnya menyimpulkan, bahwa mereka (atau orang-orang Islam), bisa menjalani hidupnya sendiri-sendiri. Tidak ada pergesekan sosial.

Sekarang setiap orang yang akan kuliah di Jerman pun pasti mendapat materi di kelas tentang “Berintegrasi”. Jadi pemerintah Jerman secara aktif sudah paham bahwa masyarakatnya semakin beragam, dan mereka berusaha agar segalanya tetap tentram.

Tapi lain halnya setelah kebijakan membuka pintu kepada para pengungsi. Banyak pihak beranggapan bahwa itu bukanlah keputusan yang bijak. Ketakutan yang terbesar malah datangnya dari luar Jerman. Yaitu Islamisasi Jerman, kriminalitas dan lain-lain. Mereka juga takut jika banyak simpatisan ISIS yang ‘menyusup’ di antara para pengungsi.

Selama saya di Jerman, memang terjadi beberapa insiden yang mencoreng nama Islam. Misalnya, penyerangan terhadap orang Yahudi, kasus menabrakkan truk ke pasar natal pada tahun 2016, perekrutan ISIS, dan lainnya. Memang media mainstream di Jerman tidak menyangkut-pautkan dengan Islam jika memang tidak ada sangkut pautnya. Tetapi bagi orang awam, mereka taunya nama dan wajahnya datang dari timur tengah, berarti itu orang Islam.

Jadi sebenarnya permasalahannya sama seperti pada umumnya, yaitu kurangnya Informasi dan pemahaman soal Islam. Dulu hal ini bukan masalah, karena dulu orang tidak peduli. Tetapi sejak peristiwa 11 September 2001 (WTC USA), semua itu berubah.

Orang-orang Jerman sendiri secara umum sebenarnya tidak berperasangka buruk, hanya kalau terus-menerus terekspos dengan berita-berita negatif, mungkin persepsi mereka bisa berubah. Rata-rata orang awam tahunya Islam itu ya ada satu. Mereka tidak tahu bahwa di dalamnya ada spektrum yang kompleks.

Argumen bahwa ajaran Islam adalah ‘benar’, bagi mereka tidak menjadikan mereka peduli dan berdampak terhadap kehidupan mereka. Dan untuk saat ini, hal itu bisa disimpulkan dari berita-berita tentang Islam di media mainstream.

Saya kira, hal Ini juga berlaku tidak hanya di Barat, sebagai mana di Indonesia juga (dari perspektif non-Islam atau “Islam KTP”).

Pihak luar yang ‘membela’ Islam di Barat saat ini adalah kaum Liberal. Tapi tentunya mereka tidak seharusnya diandalkan untuk memahamkan orang-orang tentang Islam, argumen orang Liberal untuk membela Islam tidak kuat, hanya berdasarkan pada isu “Persamaan Hak”.

Nah, lalu bagimana dengan apa yang saya alami sebagai orang Islam yang tinggal di Jerman ? Singkatnya, ya tidak ada masalah apa pun. Karena pada akhirnya bukan wajah Asia Timur saya, sehingga orang ingat saat membicarakan soal Islam.

Lain halnya kalau wajah Timur Tengah atau Afrika, atau bahkan hanya sekedar wajahnya saja yang ke-Arab Araban.

Contoh kasus seperti yang dialami teman saya serumah sekarang. Dia orang Indonesia keturunan Arab, tentu wajahnya beda. Dulu dia pernah berjalan bersama dua orang Indonesia lain, lalu ada polisi yang mendatanginya. Polisi ini dengan tidak ramah meminta dia untuk menunjukkan pospornya. Sedangkan dua orang lainnya tak dihiraukan. Lucunya, salah satu teman orang Indonesia tadi, dia punya paspor biru Amerika. Polisinya bahkan tidak berani menyentuh atau berlaku macam-macam dengan paspor Amerikanya. Ini menunjukkan bahwa “harga diri” paspor saja sudah berbeda. Tetapi ini cerita untuk lain waktu saja.

Sewaktu dia cerita tentang pengalamannya, saya kaget karena saya sendiri tidak pernah mengalami hal seperti itu. Apalagi di Berlin, kota di mana masyatakatnya sudah sangat biasa dengan multy ethnic. Ternyata dia sudah tiga kali mengalami hal serupa. Kadang polisinya sopan, kadang tidak. Dia sekarang sudah tidak berani bepergian tanpa membawa paspor. Perbedaan kita padahal hanyalah soal wajah

Dulu saya rasanya tidak pernah menjadi kaum minoritas. Bukan orang Jawa di Papua, bukan orang Tionghoa di Indonesia, atau lainnya. Di Jerman sebagai minoritas pun bukan termasuk yang berada di bawah “kaca pembesar” atau menjadi sorotan.

Saya tidak berwajah Timur Tengah, juga bukan perempuan pakai jilbab. Posisi unik seperti ini memungkinkan saya untuk berpindah-pindah antara menjadi subyek, obyek atau menjadi spektator. Perspektif ini membuahkan bermacam-macam lintasan pikiran bagi saya, yang sekarang masih belum mengerti entah mau dibawa ke mana dan belum tau manfaatnya apa.

Walau tidak pernah terdiskrimasi tetapi harus tetap hati-hati, jangan sampai lupa diri dengan lingkungan dimana kita berada.


Yusuf al Azhar: Kontributor Jaringan Sekolah BIAS untuk Jerman dan Eropa

BUNGA SAKURA DI BERLIN Pada suatu hari, saya sedang mengunjungi acara kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di

ANTARA TEKNIK DAN HUMANIORA Pada suatu hari, saya sedang mengunjungi acara kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di

Yusuf Al Azhar
Alumni SMA BIAS  2013
Kuliah di Fakultas Kultur- und Medienwissenschaft

Humboldt Universtät zu Berlin

 

GALERI

Hubungi Kami
Lembaga Pendidikan Islam Terpadu
Bina Anak Sholeh Yogyakarta

Komplek Perkantoran BIAS  Jl. Wirosaban Barat No. 6
Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta 

Telepone 0274 – 410 350
Email Sibibias@gmail.com

Informasi Tentang
Lembaga
Penerimaan Siswa Baru

Tanya Jawab?
1
Assalamualaikum
Selamat, Ayah Bunda berkesempatan berinteraksi menyenangkan dengan Sekolah Islam Berwawasan Internasional, BIAS Yogyakarta