Pada suatu hari, saya sedang mengunjungi acara kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di Berlin.
Di sana saya bertemu dengan banyak orang yang sebelumnya tidak pernah kenal. Layaknya rutinitas, salah satu pertanyaan yang sering diajukan saat berkenalan adalah : “kuliah di mana? jurusan apa?”
Jawaban dari pertanyaan itu sebenarnya tidak penting, walau pertanyaannya entah mengapa selalu itu itu saja, “Oh kuliah di TUB (nama Universitas Teknik di Berlin). Oh jurusannya Maschinenbau (Teknik Mesin).” Lalu mereka akan beralih ke topik pembicaraan yang lain.
Tetapi yang saya alami sedikit berbeda. Mungkin karena tidak banyak mahasiswa Indonesia yang belajar ilmu Humaniora seperti saya. Biasanya saya akan ditanya : “apa sih yang sebenarnya dipelajari?”, lalu saya biasanya berusaha menjelaskan sambil memutar otak dan mengingat-ingat materi perkuliahan yang sudah susah-susah saya coba lupakan sebelum acara dimulai. No problem.
Yang sedikit rumit, malah kalau ditanya dengan pertanyaan “mengapa”. “Mengapa kuliah ilmu Humaniora ?”
Sejak dulu rasanya menjawab pertanyaan seperti ini bikin malas. Hampir setiap saat, pada akhirnya jawaban dari pertanyaan ini juga tidak penting untuk yang bertanya.
Biasanya para dosen jurusan ini juga menyakan pertanyaan yang sama. Mungkin penjelasan dari para dosen bisa jadi bekal untuk menjawab pertanyaan seperti ini. Tapi saya rasa kok berbagai jawaban mereka, kurang bisa memuaskan sekelompok anak Teknik ini. Mungkin karena jawabannya kurang relatable atau relevan.
Tapi syukurnya, beberapa waktu belakangan saya sempat banyak membaca tulisan atau menyimak video dari profesor Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens. Di beberapa kesempatan dia menyampaikan kesimpulan yang ternyata bisa saya ambil untuk menjawab pertanyaan seperti ini.
Di saat memilih jalur kuliah, sudah lumrah kalau seseorang memilih jurusan yang memiliki prospek kerja yang bagus. Jurusan-jurusan seperti Kedokteran, Hukum, atau Teknik sudah lama menjadi favorit.
Di dekade belakangan ini Teknik Komputer/Informatika juga menjadi jurusan favorit, karena demand atas programmer meledak. Programmer menjadi salah satu bidang pekerjaan yang dibayar cukup tinggi di Amerika.
Demand-nya pun terus meningkat karena sekarang di bidang apa pun, programmer mendapatkan peran yang semakin signifikan. Entah Automotif, Kesehatan, Perbankan, atau lainnya.
Tapi ternyata justru dengan semakin signifikannya peran teknologi di kehidupan kita, semakin krusiallah ilmu-ilmu Humaniora. Mengapa ? Coba saya jelaskan.
Mari kita coba lihat dua sektor yang akan berubah drastis karena perkembangan teknologi kita.
Yang pertama adalah sektor Automotif. Setiap perusahan automotif besar, dipimpin oleh Tesla (Jerman) sedang berusaha menyempurnakan teknologi kendaran yang bisa mengemudi sendiri.
Bahkan perusahan-perusahan yang fokusnya ke teknologi, seperti Apple dan Google, sekarang memiliki cabang perusahaan yang mengembangkan teknologi tersebut.
Ribuan programmer di perusahaan-perusahaan tersebut bekerja dan berlomba-lomba untuk menulis program/algoritma yang bisa membuat mobil berkendara tanpa pengemudi manusia.
Mengapa ? Setiap tahun tidak terhitung banyaknya orang-orang yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Teknologi ini berusaha untuk menghilangkan faktor manusia dalam lalu lintas.
Tidak hanya bertambah aman, namun lalu lintas juga akan bertambah efektif, sehingga kemacetan bisa terhindari. Banyak orang yang ‘kehilangan’ waktu berjam-jam dalam sehari karena harus mengemudikan kendaraan.
Dengan kendaraan yang bisa mengemudi sendiri, orang bisa menggunakan waktu dalam kendaraan itu untuk melakukan hal lain, atau beristirahat.
Sekarang, coba kita bayangkan suatu skenario. Suatu mobil otomatis sedang melaju di jalan yang kecil di pinggir sungai. Lalu tiba-tiba dua anak kecil yang sedang bermain berlalu ke tengah jalan tanpa mengetahui adanya mobil yang datang.
Karena kecepatannya, mobil itu tidak memiliki waktu untuk mengerem sampai berhenti. Sekarang mobil itu ‘memiliki’ dua pilihan: (1) mengelak ke samping memasuki sungai, dengan resiko membunuh penumpangnya yang mungkin sedang tertidur di kursi belakang, atau (2) berkendara menerobos dua anak itu untuk menyelamatkan penumpangnya. Nah, siapa yang harus memutuskan ? Dan bagaimana memutuskannya ?
Para filsuf mungkin sudah memikirkan jawaban dari pertanyaan moral seperti itu selama ratusan atau ribuan tahun. Tapi kesimpulan mereka tidak pernah penting, karena di situasi semacam itu, biasanya yang memutuskan ke mana sang mobil akan melaju adalah reflek atau insting sang pengendara. Dilema seperti ini akan kembali ke masing-masing individu.
Tapi lain halnya dengan mobil yang berkendara sendiri. Apabila mobil itu diprogram untuk selalu menyelamatkan penumpangnya, maka 100% dia akan melaju menerobos anak-anak itu.
Apabila mobil itu diprogram untuk mengutamakan keselamatan anak-anak, maka mobil itu 100% akan mengelak dan berbelok ke dalam sungai dan mungkin membunuh penumpangnya. Keputusannya tidak lagi bergantung pada insting atau nilai-nilai masing-masing individu.
Saat ini semua bergantung kepada siapa yang merancang program sang mobil. Dan berbeda dengan para filsuf, yang bisa memperdebatkan satu pertanyaan selama ratusan tahun tanpa mendapatkan jawaban.
Para insyinur selalu ingin mendapatkan jawaban sesegera mungkin. Karena menguasai teknologi ini tidak mudah, mungkin sepanjang hidupnya dia harus mendalami teknologi tanpa sempat menggali ilmu-ilmu kemanusiaan (Humaniora) seperti itu.
Mereka pun tidak bisa semata-mata mengandalkan keputusan seperti ini kepada atasan mereka. Karena di suatu perusahaan, atasannya atasan ujung-ujungnya adalah investor, pemegang saham, dan pasar bebas. Keputusan mereka sudah jelas akan diambil untuk menyelamatkan perusahaan/nilai sahamnya. Kadang bukan keputusan yang terbaik.
Karena itulah para filsuf tidak bisa lagi berdebat tanpa mendapatkan jawaban. Karena mereka tidak bisa lagi lepas tangan dan menyerahkan jawabannya ke masing-masing individu.
Sekarang jawaban-jawaban dari persoalan semacam ini tidak bisa lagi berdasarkan individu, namun merupakan jawaban/nilai-nilai dari dampak teknik terhadap kemanusiaan.
Inilah perspektif Sosial Humaniora terhadap Teknologi