Orang bahagia adalah orang yang pandai bersyukur. Karena dia selalu merasa cukup atas apa yang diberikan Allah. Dia sudah selesai dengan urusan dirinya sendiri.
Sedikit atau banyak apa yang diperoleh, apa yang telah dimiliki, hatinya menerima. Mereka beriman, ridho atas nikmat yang diberikan Allah.
Orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri, selanjutnya mesti akan memberi manfaat kepada pihak lain. Dia bermental kaya, mental pemberi. Bukan mental miskin, yang suka menuntut, dan meminta.
Orang yang selalu merasa kurang dan menuntut, masih disibukkan dengan urusan dirinya sendiri. Mana bisa dia berempati atau memberikan manfaat kepada pihak lain ?
Orang yang merasa tidak pernah cukup, mudah terjerumus pada sifat tamak (ath Thama’u). Sifat ini tumbuh akibat mencintai harta benda, takut kehilangan sebagian hartanya, dan berhasrat untuk menambah lebih banyak lagi.
Rasul menggambarkan, “Jika anak adam memiliki satu lembah emas, dia akan mencari agar menjadi dua lembah, dan tidak akan menutup mulutnya melainkan dengan tanah. Dan Allah menerima orang yang bertaubat.”
(HR. Bukhari – Muslim).
Tamak termasuk salah satu penyakit akhlaq yang parah, bisa merusak agama seseorang. Tamak adalah sikap rakus terhadap kebendaan.
Sifat tamak ini merupakan sumber keburukan, sehingga orang dengan mudah untuk berbuat curang, menipu, korupsi, gemar mengharap fasilitas, dengki, serakah, nafsu ingin punya ini dan itu. Tapi ia sendiri : kikir dan pelit.
Para sahabat Nabi adalah orang orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, mereka adalah para muhsinin. Inilah buah tarbiyah Nabi, seperti yang digambarkan di awal Al Qur’an, “Wamimma rozaqnahum yunfiquun”, sebagai orang orang yang memelihara fitrahnya, mereka berinfak dengan sebagian harta yang dimilikinya.
Inilah yang dikisahkan dalam perang Tabuk, perang yang dirasakan sangat berat saat itu, karena melawan Imperium Romawi. Terjadi pada bulan Rajab 9 H.
Nabi memerintahkan orang orang beriman untuk berperang, dengan memerinci musuh yang akan dihadapi. Berdasar informasi, Romawi menyiapkan pasukan dengan skala besar, dengan merekrut semua Arab Kristen yang berada dalam jajahannya.
Waktu itu musim buah buahan matang, menjelang panen, cuaca sangat terik, dalam kondisi krisis ekonomi, melawan musuh yang kuat, perjalanan jauh dan medan yang sulit. Kalau harus memilih, tentu mereka lebih enak tinggal di rumah bersama keluarga.
Nabi memerintahkan mereka menyisihkan sebagian harta untuk perbekalan pasukan. Orang orang yang kokoh imannya, langsung berlomba lomba untuk memberi, mengeluarkan hartanya guna membiayai perang.
Utsman bin Afan berinfak 100 ekor unta dengan muatan dan pelananya, ditambah lagi dengan 200 ekor unta dengan muatan lengkap. Kemudian 300 unta lagi dengan muatan dan pelananya. Ditambah lagi menyerahkan 1000 dinar dari kantong bajunya.
Umar bin Khatab berinfak dengan separoh hartanya. Beliau mengira kali ini bisa mengalahkan infak Abu Bakar. Ketika Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar, “Berapa yang engkau sisakan untuk keluargamu ?” Dijawab oleh Abu Bakar, “Aku menyisakan Allah dan Rasul-NYA !” Abu Bakar telah menyerahkan seluruh hartanya.
Demikian juga Abdurrahman bin Auf berinfak 2000 dirham, Al Abas bin Abdul Muthalib, Thalhah bin Ubaidilllah dan lainnya, semua berinfak dalam jumlah besar.
Tidak ketinggalan orang orang fakir miskin, meski dengan malu malu, mereka menyerahkan separo penghasilannya, seperti Abu Uqail datang membawa setengah sha’ kurma. Orang orang fakir miskin merasa sedih karena tidak memiliki biaya untuk ikut berjihad.
Begitulah, orang orang mukmin memahami bahwa harta adalah wasilah untuk berkhidmah, untuk bisa membiayai agama ini. Mereka menginfakkan harta dengan ketundukan dan kesukaan.
Orang orang miskin tidak mau dibantu, malah maunya memberi. Mereka semua heroik berlomba lomba benkontribusi dalam jihad fii sabilillah.
Padahal orang miskin itu hidup dalam taraf minimal, persoalan mereka masih berkutat dengan kebutuhan pokok. Kadang diantara mereka terjadi saling utang mengutang, biasanya untuk urusan makan dan harian.
Berbeda dengan orang mampu, mereka berhutang biasanya untuk kebutuhan sekunder. Maka, jika orang mampu bisa berinfak itu adalah hal yang lumrah, tidak perlu berbangga apalagi sampai ada perasaan sombong.
Tapi jika orang orang miskin berinfak, ikut membiayai agama ini, adalah sesuatu yang luar biasa. Karena mereka mesti berhitung dengan keras, menyeimbangkan antara kebutuhan pokok dan besaran infaknya.
Meski miskin, tapi mereka telah selesai dengan urusan pribadinya. Mereka bermental kaya, tidak mau meminta tapi malah memberi. Sifat tamaknya telah terkikis.
Sebaliknya, ada juga orang meski diberi harta berlimpah oleh Allah atau kecukupan, tapi enggan untuk berinfaq, tidak banyak memberi manfaat kepada sesama, tidak mau tahu bahwa dakwah itu perlu dibiayai. Menegakkan agama itu perlu dana besar.
Menegakkan agama, bisa mencakup berbagai aspek. Misalnya dalam bidang ekonomi, sosial, kesehatan, politik, budaya, pendidikan, bahkan pertahanan.
Kita teringat, bagaimana para pejuang kemerdekaan dahulu, mereka bergerilya memasuki hutan, lembah dan pedesaan. Perbekalan mereka dibantu oleh orang orang desa, dengan bahan makanan seadanya, seperti jagung, ketela dan umbi umbian.
Menegakkan agama dibidang ekonomi, dengan menyelenggarakan gerakan ekomoni dan lembaga keuangan syariah, jaringan bisnis, maupun lembaga kajiannya.
Dibidang sosial, dengan menyantuni fakir miskin, panti asuhan yatim, dana untuk dhuafa, bantuan pengungsi bencana alam, ataupun pelatihan kerja.
Dibidang kesehatan, dengan mendirikan rumah sakit atau klinik, bakti sosial, atau bantuan makanan bergizi dan obat obatan.
Dibidang politik, dengan menyelenggarakan pendidikan politik, lembaga kajian, mendukung partai politik atau calon kepala daerah, yang peduli terhadap Islam dan umatnya.
Dibidang budaya, dengan mendorong dan membantu gerakan budaya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, menghidupkan lembaga kajian.
Dibidang pendidikan, dengan meyelenggarakan sekolah, perguruan tinggi Islam, pondok pesantren, pelatihan, dauroh, kaderisasi calon ulama.
Semua yang digambarkan diatas adalah bentuk bentuk usaha untuk meninggikan Islam, dan memajukan umatnya.
Itu semua memerlukan perencanaan matang, pengorganisasian, pelaksanaan rapi, monitoring – evaluasi, dan pengelolaan anggaran.
Itulah lahan dakwah yang membutuhkan dukungan dan perlu dibiayai. Ini tanggung jawab siapa ?
Allahumma inni asaluka ‘ilman nafi’an wa rizqan thoyyiban wa ‘amalan muttaqabbalan
Wallahu ‘alam bi shawab.
Tabik
Boedi D.