Berhati-Hati dengan “Kata Nabi (ShallalLâhu `alaihi wa Sallama)”

Dengan tergopoh-gopoh sahabat Abu Musa al-Asy`ari RadhiyalLâhu `anhu mendatangi para sahabat Nabi lain yang sedang berkumpul. “Tadi saya dipanggil Umar bin Khaththab RadhiyalLâhu `anhu ke rumahnya”, ujar Abu Musa memulai ceritanya dengan pancaran kekhawatir terlihat di wajahnya.
“Ketika sudah sampai rumah Beliau, saya ‘Assalamualaikum’ tiga kali ternyata tidak ada jawaban. Akhirnya saya beranjak pulang saja”, lanjut Abu Musa.
“Abu Musa, kok malah pulang?”, tanya Umar yang tiba-tiba sudah terlihat berdiri membukakan pintu. “Wah, tadi saya sudah sampai situ. Saya ‘Assalamualaikum’ tiga kali tidak dijawab, ya saya pulang saja”, jawab Abu Musa.
“Karena Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama bernah bersabda … ”, terang Abu Musa. “Apabila kamu sudah minta izin tiga kali (ketika bertamu ke rumah orang-pen) dan ternyata tidak diizinkan, maka pulang saja”.
Ternyata sahabat Umar RadhiyalLâhu `anhu tidak langsung menerima begitu saja informasi yang disampaikan Abu Musa dari Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama. “Umar minta dari saya sebuah bukti bahwa Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama memang pernah menyampaikan perintah tersebut. Ada yang pernah sama-sama mendengar perintah tersebut dari Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama?”, tanya Abu Musa al-Asy`ari.
Ternyata berdirilah sahabat Abu Said al-Khudri RadhiyalLâhu `anhu yang waktu itu paling muda di antara para sahabat yang sedang berkumpul. “Iya, saya pernah mendengarnya juga dari Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama”, kata Abu Said.
Akhirnya Abu Said al-Khudri menemani Abu Musa al-Asy`ari menghadap Umar bin Khaththab menyampaikan kebenaran perintah Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama bahwa siapa saja yang bertamu ke rumah seseorang, ketika sudah tiga kali mengetuk pintu atau memberi salam namun tidak dibukakan, dianjurkan untuk pulang saja. Tidak perlu menunggu lama di depan pintu apalagi terus mengetuknya.
Kisah dengan redaksi di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahih-nya (hadis nomor 2153). Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari -dengan sedikit perbedaan beberapa lafaz yang tidak merubah makna- dalam Kitab Shahih-nya (hadis nomor 6245).
Peristiwa di atas memberikan gambaran kepada kita tentang budaya verifikasi atau cek dan re-check di kalangan para sahabat Nabi, generasi terbaik umat Islam. Mereka adalah generasi yang menerima langsung ajaran Islam dari Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama. Mereka juga yang berperan besar menyampaikannya kepada para generasi setelahnya di berbagai belahan bumi.
Paa sahabat menerapkan kehati-hatian ekstra mulai dari ketika menerima, menjaga sampai menyampaikan hadis.
Sahabat al-Barâ’ bin `Âzib RadhiyalLâhu `anhu pernah berkata, “Tidak semua dari kami (para sahabat-pen) selalu mendengar hadis Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama. Karena kami juga punya kesibukan dan pekerjaan masing-masing. Akan tetapi orang-orang pada waktu itu tidak berdusta. Jadilah orang yang hadir mengabarkan hadis yang mereka dengar kepada yang tidak hadir”. [Diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Jâmi` li Akhlâq al-Râwi (1/117)]
Senada dengan hal tersebut, sahabat Anas bin Malik RadhiyalLâhu `anhu mengatakan, “…Demi Allah kami bukan pendusta, bahkan kami tidak kenal apa itu dusta!”. [(Diriwayatkan oleh Ibnu `Adi dalam al-Kâmil fî Dhu`afâ’ al-Rijâl (1/372)]
Dusta ternyata merupakan hal yang sangat tercela di kalangan masyarakat Arab bahkan di kalangan mereka yang masih jahiliyah. Ingatlah ketika Abu Sufyan ditanya-tanya oleh Kaisar Heraclius perihal ‘Nabi baru’ Muhammad ShallalLâhu `alaihi wa Sallama yang muncul di tengah masyarakat Arab. Abu Sufyan menjawab apa adanya, padahal kala itu ia belum beriman bahkan termasuk dalam barisan kafir Quraisy yang memusuhi Nabi.
Sebenarnya merupakan kesempatan besar untuk memanipulasi informasi tentang Nabi, tapi itu tidak dilakukan oleh Abu Sufyan. Ia bahkan mengatakan, “Demi Allah kalau saja bukan karena rasa malu akan tudingan dusta yang akan mereka lontarkan kepadaku, pasti aku akan berdusta tentangnya (Nabi Muhammad ShallalLâhu `alaihi wa Sallama-pen)”. (Peristiwa ini diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari nomor 7)
Sebenarnya dalam dialek Quraisy kata al-Kadzib tidak hanya bermakna dusta (secara sengaja mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan realita). Ia juga bermakna al-Khatha’ atau salah mengabarkan sesuatu yang dalam hal ini dilakukan secara tidak sengaja. [(Sebagaimana perkataan Ibnu al-Anbari yang dinukil Murtadha al-Zabidi dalam Tâju’l `Arûs (4/129)]
Sehingga, pernyataan beberapa orang dari sahabat bahwa mereka bukan masyarakat yang membudayakan al-Kadzib, dapat juga dimaknai bahwa mereka selalu berhati-hati dalam setiap nukilan sehingga tidak terjatuh dalam kesalahan yang tidak sengaja sekalipun. Selain juga dimaknai bahwa mereka jauh dari sifat dusta.
Demikianlah cara pikir dan budaya para sahabat –semoga Allah meridhai mereka semua dan kita pun meridhai mereka- yang sangat hati-hati dalam menjaga keaslian ajaran agama; dalam hal ini adalah menjaga hadis Rasulullah ShallalLâhu `alaihi wa Sallama supaya diriwayatkan seasli dan sebagaimana dulu mereka dengar dengan hati-hati dari Beliau ShallalLâhu `alaihi wa Sallama.
Apabila sering disebut bahwa mengikuti manhaj dan cara berpikir para sahabat adalah jaminan kesahihan pemahaman agama, maka kehati-hatian dalam menerima, menyimak sampai menyampaikan hadis Nabi adalah sebuah keniscayaan bagi siapapun yang ingin ‘bermanhaj sahabat’.
Referensi:
Abdullah bin Adi al-Jurjani, al-Kâmil fî Dhu`afâ al-Rijâl, ed. Mazin al-Sirsawi, Maktabah al-Rusyd, Riyadh, Arab Saudi, cet. II, 1435 H/2014 M.
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Jâmi` li Akhlâq al-Râwi wa Âdâb al-Sâmi`, ed. Mahmud al-Thahhan, Maktabah al-Ma`ârif, Riyadh, Arab Saudi, t.t.
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, al-Musnad al-Shahîh (Shahîh Muslim), ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Beirut, Libanon, t.t.
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jâmi` al-Shahîh (Shahîh al-Bukhâri), ed. Muhammad Zuhair Nashir, Dâr Thauq al-Najât, cet. I, 1422 H.
Murtadha al-Zabidi, Tâju’l `Arûs min Jawâhiri’l Qâmûs, ed. Majmû`ah mina’l Muhaqqiqîn, Dâru’l Hidâyah, t.t.
Ust. Musa al Azhar, Lc. Dipl.
Pasca Sarjana, Jurusan Hadits dan Ilmu Ilmu Hadits, Fak. Ushuluddin, Univ. Al Azhar Cairo.
Kontributor Jaringan Sekolah BIAS untuk Mesir dan Timur Tengah.

SEMUA BUTUH PAKAR AGAMA PUN DEMIKIAN Para sahabat sebenarnya segan untuk bertanya kepada Nabi tentang

KAJIAN ESKATOLOGI ISLAM DI AL-AZHAR (PART I) Kajian eskatologi Islam atau yang juga nge-trend dengan nama ‘kajian akhir zaman’ itu aslinya merupakan

KUNCI KEBERHASILAN MENUNTUT LMU Apakah kecerdasan atau IQ merupakan satu-satunya faktor keberhasilan menuntut ilmu?

MENTERI LUAR NEGERI PERANCIS MENGHADAP GRAND SYEKH AL-AZHAR Ahad, 8 November 2020, Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian menghadap Grand Syekh al-Azhar

“MEMBIAYAI AGAMA”
TANGGUNG JAWAB SIAPA? Orang bahagia adalah orang yang pandai bersyukur. Karena dia selalu merasa cukup atas apa yang diberikan Allah. Dia sudah selesai dengan
GALERI
Telepone 0274 – 410 350
Email Sibibias@gmail.com
Informasi Tentang
Lembaga
Penerimaan Siswa Baru